Sabtu, 11 Februari 2012

Kekejaman Tentara Belanda Terhadap Rakyat Rawagede


Sudah lama cerita ini tenggelam sebagai sejarah, tetapi kesakitan masyarakat asli rawagede yang pernah menjadi saksi kekejaman penjajah Belanda, dengan mempertontonkan kejahatan terhadap kemanusiaan dimata anak-anak kecil yang tidak berdosa, didepan istri-istri yang menangis atas pembunuhan terhadap 431 laki-laki masih terus terjadi. Tentu hal ini menjadi bayangan pahit selama hidup mereka.

Sedikit obat yang datang dari kabar gembira dikabulkannya permohonan tuntutan atas tragedi itu justru terjadi di Belanda. 

Pada Rabu 14 September 2011, Pengadilan Den Haag mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat. Belanda harus mengakui kesalahannya dan memberi kompensasi kepada keluarga korban.

Sebuah cerita jujur dari seseorang yang mengaku ikut sertai membantai. Sebuah surat tanpa nama dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda. Pengirimnya mengaku seorang veteran perang bagian dari sedadu NICA pada waktu itu menceritakan kejadian yang telah membaut sungai-sungai berubah menjadi merah darah dari para korban pada 9 Desember 1947 itu. 

"Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata," kata orang tersebut seperti dimuat Radio Netherland Siaran Indonesia.

"Terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka yang terbelalak, ketakutan dan tak faham."

Seperti ini dia menceritakan dalam surat tersebut:

Wamel Rawa Gedeh

"Namaku tidak bisa aku sebutkan, tapi aku bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa Rawa Gedeh (Rawagede).

Anda tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949, sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:

Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada Desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.

Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata, dll)

Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Jumlahnya ratusan.

Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.

Semua lelaki ditembak mati--kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.

Semua perempuan ditembak mati--padahal kami datang dari negara demokratis.

Semua anak ditembak mati--padahal kami mengakunya tentara yang Kristiani.

Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata, terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.

Aku tidak bisa menyebut namaku, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu."(kd)


Sumber : VIVAnews, Suara Nederland Berbahasa Indonesia


Sumber : http://www.indonesianvoices.info/2011/09/kekejaman-tentara-belanda-terhadap.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar