Sabtu, 11 Februari 2012

HABONARON DO BONA

HABONARON DO BONA
(bagian 1)
Oleh David EP
Horas
Sejak kecil kalimat ini selalu bergema dalam hati. Telah menjadi ciri Halak Simalungun, halak hita sering mengutipnya dalam percakapan dan tulisan. Kemudian kita menganggapnya sebagai falsafah Suku Simalungun. Bahkan Logo Pemda Simalungun juga menjadikannya sebagai motto. Bukan hanya itu, berbagai organisasi massa, kepemudaan, geraja juga menggunakannya. Berarti falsafah Habonaron Do Bona itu dapat mewakili jati diri kolektif Halak Simalungun. Apakah benar demikian? Apa sih makna yang terkandung di dalamnya?
Habonaron Do Bona!
Mudah mengartikan falsafah ini berdasarkan arti yang tersirat. Habonaron misalnya diartikan sebagai kebenaran, Tuhan. Bona berarti pangkal, sumber, asal, hulu, inti. Jadi bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna Dari-Nya lah kita berasal. Tuhan adalah sumber segala sesuatu. Semua ini adalah ciptaanNya, milikNya.
Apakah sesederhana itu maknanya? Apakah ada makna yang sersirat? Mudah bagi kita yang memiliki latar belakang agama dan keyakinan tertentu untuk mengartikan Habonaron itu menjadi Kebenaran, Tuhan. Namun jika kita jujur hendak menafsirkannya berdasarkan teologi agama dan keyakianan yang dimiliki Halak Simalungun, apakah itu Parhabonaron, Agama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam, pastilah “kata” Habonaron itu akan diterjemahkan sebagai Tuhan menurut pemahaman mereka.
Sementara ada golongan agama yang masih bersikeras Tuhan setiap agama itu beda. Terserah! Ini pendapat mereka. Sedikit yang mengakui bahwa memang benar Tuhan itu satu adanya. Ada yang keberatan jika semua agama itu disejajarkan sama-sama benar. Kelompok itu ada! Namun ada juga yang mengatakan memang agama itu “jalan yang berbeda” namun tujuannya sama yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Baiklah kita tinggalkan dahulu masalah teologi ini. Padahal Pancasila sudah mengantisipasi hal seperti ini. Jangan kira tokoh angkatan 45 tidak mengetahui sejarah dunia, sejarah agama-agama yang memiliki catatan berdarah, baik antar agama maupun dalam tubuh interennya.  Pancasila malah bergerak maju untuk mengantisipasi adanya kelompok non-apresiatif tersebut – radikalisme. Sehingga Negara kita menawarkan falsafah, sila pertama untuk mengantisipasi kelompok yang merasa benar sendiri tersebut. Bahwa “Ketuhanan (kata sifat) itu esa. Artinya sifat-sifat Tuhan itu universal adanya. Jika setiap pemeluk agama menjadi religius, dengan sendirinya akan menghayati sifat-sifat Tuhan yang maha baik, kasih, pemurah, menolong, menghormati, dll. Mengutamakan sifat-sifat inilah yang penting dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan. Kita tidak bisa membohongi orang dalam waktu lama.
Kembali kepada falsafah kita Habonaron Do Bona.
Saya berkeyakinan falsafah ini lahir sebelum agama SAMAWI iba atau bertandang ke Bhumi Simalungun. Hmm… Artinya leluhur Halak Simalungun sudah sampai pada kesadaran bahwa Manusia itu asalnya dari Tuhan Yang Tunggal. Setiap manusia yang terlahir di bumi ini merupakan ciptaanNya, berasal dariNya.
Menyadari hal ini aku bangga. Bangga pada leluhur. Bahwa falsafah ini tidak lahir dari seorang gembala yang sedang berada di atas punggung kerbau, atau pas memancing di sungai. Atau lahir atas perintah raja yang konon rakyatnya tak ada yang punya baju atau sandal. Bukan. Sekali lagi bukan.
Falsafah ini, saya yakin lahir dari hasil evolusi jiwa Halak Simalungun, lahir dari JIWA LUHUR. Lahir dari pencapaian Spiritual. Lahir dari HASIL OLAH RAGA, RASA, dan JIWA.  Ketiga usaha ini, sekarang dinamakan SENI MEMBERDAYA DIRI. Karena leluhur kita telah menemukan cara untuk mensinergikan diri dengan yang Ilahi, sudah selaras, Eling, sudah Berkesadaran. Aku Bangga Jadi Orang Simalungun. Kenapa?
Karena leluhur kita telah mencapai tingkat kesadaran yang tinggi. Bahwa kesadaran itu disokong, berkembang di atas lahan Peradaban, Kebudayaan yang sudah tinggi. Dan saya berani menyimpulkan (maaf ya, saya harus berterus terang), bahwa mereka adalah praktisi Yoga, Tantra. Pada Yoga dan Tantra terdapat disiplin bagaimana mematangkan evolusi jiwa, bagaimana membersihkan insting hewani, bagaimana menyelaraskan diri dengan alam dan lingkungan. Pendek kata mereka memiliki peradaban dan kebudayaan yang sudah tinggi. Yoga berarti terjadinya persatuan dengan  Ia Yang Ilahi.
Eeist.. tunggu dulu. Dapatkah kita membayangkan bahwa nenek moyang kita adalah para manusia Hindu? O ya, Hindu itu berasal dari kata Sindhu, Sinthu, Sunda. Akar katanya sama, yang bermakna bahwa Hindu, Sindhu, Sinthu, Sunda adalah wilayah PERADABAN, KEBUDAYAAN yang sama. Wilayah ini dibagi dua oleh sungai Sindu yang ada di India sekarang hingga Nusantara/Dvipantara.
Berita gembiranya, Orang Nusantara tidak pernah mengimpor keyakinan/agama dari India. Karena budaya dan keyakinan kita sama. Bahkan dengan orang-orang China.
Persebaran kebudayaan itu justru dari Dvipantara (Peneliti menyebutnya Atlantis/Atlantean). Sebagai contoh, sewaktu pusat Peradaban berada di sekitar Danau Toba sekarang – lebih kurang 75.000 lalu, dan ketika Gunung Toba, Meru meletus, maka orang-orang melarkan diri ke Mesir. Di sana, untuk mengenang Gunung Toba, mereka mendirikan Piramid. Mereka memiliki trauma kepada “tsunami”, karena waktu Gunung Toba meletus, wilayah Dvipantara yang menyatu (belum ada laut utara Jawa), jadi merupakan wilayah yang luas membentang.
Periode berikutnya adalah sewaktu pusat peradaban  berada pada Gunung Dempo (Moyang Krakatau) di selat Sunda. Masa inilah (12.000 tahun lalu) yang disebut masa Atlantis. Saat itu Gunung Dempo, mendatangkan air Bah (Tsunami), dan orang-orang Atlantean/Sunda migrasi lagi ke berbagai negeri, termasuk ke Yunani, atau ke India.
Makanya tak heran banyak nama yang kembar antara Indonesia dan India.
Mari kita kembali ke Simalungun. Jadi nenek moyang kita tidak lahir atau timbul pada tahun 1200-an, bukan. Jika ingat kembali kisah penciptaan dan kelahiran manusia pertama versi tradisi kita (Hindu) dan yang masih bertahan di kampong kita maka akan mirip.
Kisah itu metafor. Tolong jangan ditafsirkan secara buta. Misal kita ambil kisah dari Toba, Si Boru Deak Parujar – feminim, adalah putri dari Betara Guru/Siva, yang menolak dinikahkan dengan putra Brahma yang Buruk Rupa. Maka ia turun ke benua/wanua bawah. Singkat cerita Ia meminta segenggam tanah ke Bapaknya-Siva. Maka jadilah BUMI.
Ini kisah metafor. Jika dirunut mulai Brahma yang sekarang menciptakan Bumi, maka Bumi telah berusia jutaan tahun.
Lalu mari memperhatikan Kisah Si Boru Deak Parujar yang dihubungkan dengan Si Raja Batak, lalu yang menurunkan marga-marga di tanah Batak ya, tidak klop/pas. Menafsirkan pohon silsilah “Orang Batak” harus berdasarkan tafsir BUDAYA. Tidak Politis.  Tidak akan sinkron, klop, atau cocok, senantiasa ada friksi.
Kembali ke falsafah Habonaron Do Bona. Falsafah ini similar dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Terlihat banyak, beragam, tetapi disatukan inti kehidupan yang sama. Terlihat banyak jalan yang memuja Tuhan, tetapi tujuannya SAMA.
Jadi lahirnya falsafah Habonaron Do Bona adalah berasal dari KESADARAN. Tidak ada lagi debat teologi di sana. Sudah FINAL.
Kalau masih berkutat pada teologinya, ya silahkan saja. Kami Halak Simalungun sudah mencapai Kesadaran yang Tinggi. Tinggal orang/halak Simalungun sekarang mau atau tidak menyegarkan kembali ingatannya.
Dalam falsafah Habonaran Do Bona, manusia Simalungun sudah menyadari  kesatuan antara dunia tetumbuhan/hewan, manusia dan alam devata. Tidak ada lagi sekat-sekat. Di mana mana Tuhan itu ada. Di luar dan didalam diri mahkluk, Ia Maha melingkupi, Maha meresapi. Jadi tidak ada tempat dimana Ia tidak ada. Di Barat, Timur, Utara, Selatan, bawah, atas, semua Ia bertahta. Bahkan Ia lebih besar dan Semesta.
Inilah pemahaman saya.
Kurang lebih maaf jika ada kata atau kalimat yang berkenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar