Sabtu, 11 Februari 2012

Jangan Lupakan Juga Kejahatan Perang Westerling


Raymond Westerling seorang komandan pasukan khusus Belanda yang membantai sekitar 40 ribu warga Sulawesi Selatan selama 1946-1947, tetap tidak pernha tersentuh hukum sampai akhir hayatnya. Sebuah kisah sadistis yang dibuka kembali sejarah kejahatan perangnya oleh seorang Bekas direktur perusahaan telekomunikasi Jerman yang bernama Horst H. Geerken. Seorang kelahiran Stuttgart, Jerman, pada 13 Agustus 1933.

Dalam buku Geerjeb yang berjudul Der Ruf des Geckos, 18 erlebnisreiche Jahre in Indonesien (Panggilan Sang Tokek: Pengalaman Mengesankan Selama 18 Tahun Tinggal di Indonesia). Mengisahkan tentang kekejaman Westerling yang melakukan pembasmian terhadap para pejuang yang dianggapnya teroris. Dalam bukunya itu walapun ia juga menyebut Westerling sebagai: “Iblis Belanda yang pantas menyandang tudingan penjahat perang”.

Kekejaman Westerling bukan saja pada jumlah korban yang dibunuh tetapi juga menciptakan metode-metode baru dalam perang dalam melakukan pembunuhan masal dengan penghematan peluru dan tenaga.

Menurut Horst, tak cuma menginstruksikan tembak tengkuk (sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh), tetapi juga penggal kepala. “Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas.” Hal biasa pada 1946 – 1947 di Sulawesi Selatan jika kapal-kapal Belanda bolak-balik ketengah laut untuk membawa karung-karung hasil kejahatan perang.

Itulah cara Westerling (mungkin namanya sudah mewakili dari gaya barat) untuk memburu penduduk Sulawesi Selatan yang dianggapnya sebagai “teroris” dengan cara terror yang luar biasa menakutkan, memang itulah gaya barat (Eropa Barat dan Amerika). Sayangnya kita sering tertipu.

Westerling memiliki daftar nama teroris yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para teroris tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke excecuties– eksekusi di tempat, tanpa proses pengadilan, tuntutan dan pembelaan.

Sudah biasa kalau Westerling dengan sekitar 50 personal militer masuk ke kampong-kampung untuk mengumpulkan penduduknya dan langsung melakukan eksekusi dengan cara “hemat peluru.” Melakukan pemenggalan kepala sampai-sampai darahnya karena demikian banyak harus dibuatkan siring untuk disalurkan ke sungai-sungai.

Penduduk desa yang tertangkap dikumpulkan dan dilakukan eksekusi dengan alasan untuk mencari para "teroris", “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” . Untuk orang-orang yang dirasa kuat langsung di brondong peluru tetapi yang perempuan atau anak-anak yang tidak melawan dilakukan penjagalan. Jika para serdadu ragu-ragu melakukan eksekusi Westerling langsung turun tangan melakukan menjagalan sendiri tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun.

Sebenarnya Belanda lebih kejam dari pada Jepang atau Jerman. Pada saat Jerman menutup seluruh kamp konsentrasi Nazi sesudah Perang Dunia II usai, tetapi justru Belanda malah membuka banyak kamp konsentrasi baru di Irian Jaya, Sumatera dan pulau-pulau lainnya.

Selama masa paska kemerdekaan lebih dari satu jutaan penduduk Indonesia yang dilakukan eksekusi seperti ini dari seluruh kamp-kamp Belanda tersebut. Baru di Sulawesi Selatan saja sudah lebih dari 40 ribu nyawa manusia penduduk yang tak berdosa. Masa yang paling banyak adalah pada dua tahun setelah Indonesia merdeka. Para simpatisan yang ikut dalam perang kemerdekaan Indonesia dijebloskan, disiksa dan dibunuh di situ.


Sumber : http://www.indonesianvoices.info/2011/09/jangan-lupakan-juga-kejahatan-perang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar