Sejak Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2005, fokus reformasi PBB tertuju pada upaya untuk menjadikan Dewan Keamanan (DK) lebih demokratis dan representatif. Indonesia memandang bahwa DK-PBB perlu direformasi karena tidak lagi mencerminkan realitas geopolitik dan tidak mencerminkan keterwakilan kawasan secara merata. Diperlukan upaya rebalancing antara kawasan dan meningkatkan keterwakilan negara berkembang di DK yang merupakan 2/3 dari seluruh negara anggota PBB.
Negosiasi mengenai reformasi DK hingga saat ini masih berjalan melalui berbagai pembahasan informal plenary Majelis Umum PBB yang difasilitasi oleh Dubes Zahir Tanin (Afghanistan) dan telah menyiapkan negotiating text atas dasar proposal negara-negara yang membahas lima persoalan kunci sebagai berikut:
1. Jenis keanggotaan (Categories of membership)
2. Persoalan hak veto (Question of veto)
3. Keterwakilan kawasan (Regional representation)
4. Jumlah anggota DK setelah perluasan serta metoda kerjanya (Size of the enlarged Security Council and its working methods); dan
5. Hubungan antara DK dengan Majelis Umum PBB (The relationship between the Security Council and the General Assembly).
Dalam pembahasan reformasi DK PBB, isu yang paling contentious adalah mengenai perluasan keanggotaan tetap dan hak veto. Berbagai usulan yang diajukan dalam beberapa tahun terakhir ini (a.l. dari kelompok Uniting for Consensus-UfC, G-4, Kelompok Afrika) belum berhasil menjembatani perbedaan fundamental antara negara-negara anggota PBB.
Dalam mereformasi DK-PBB, Indonesia menilai bahwa segala upaya atau bentuk reformasi harus dilakukan secara komprehensif dan harus dilakukan dalam konteks reformasi PBB secara keseluruhan. Posisi Indonesia terkait pembahasan reformasi DK-PBB di dalam Mejelis Umum (MU) PBB yang membahas lima persoalan kunci sebagaimana yang disampaikan secara tertulis kepada fasilitator negosiasi, 13 Desember 2010 adalah sebagai berikut:
1. Jenis keanggotaan (Categories of membership)
Indonesia berprinsip bahwa perluasan keanggotaan harus diputuskan secara konsensus dan menghindari perpecahan, keanggotaan harus mewakili keseimbangan geografis dan keterwakilan berkembang serta menghindari keterwakilan berlebihan (over representation) bagi kawasan tertentu. Namun, selama konsensus masih sulit dicapai, Indonesia menilai pentingnya pendekatan “intermediate approach” dengan review mechanism setelah 15-20 tahun berlakunya sistem ini untuk dapat mengubah kursi tidak tetap tertentu menjadi kursi anggota tetap. Dalam observasi Indonesia saat ini, pendekatan inilah yang dapat menjembatani perbedaan fundamental antara negara-negara anggota PBB. Dalam kategori ini negara-negara tidak boleh berpindah-pindah ketika ingin memilih kursinya antara kursi anggota tidak tetap masa 2 tahun atau untuk kursi yang lebih lama dari 2 tahun. Dengan tidak berpindah-pindah, maka akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi negara-negara relatif kecil untuk terpilih menjadi anggota DK.
2. Persoalan hak veto (Question of veto)
Indonesia berpendirian bahwa seyogyanya hak veto dihapus. Namun, sepanjang penghapusan hak veto belum dapat dilakukan, Indonesia menilai bahwa penggunaannya harus diatur. Dalam hal ini hak veto tidak boleh digunakan terhadap isu-isu yang terkait dengan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembasmian etnis, dan kejahatan perang. Selain itu, Indonesia tidak ingin ada hak veto baru apabila disepakati penambahan pada kategori anggota tetap dan dibatasi vis-a-vis kawasan WEOG.
3. Keterwakilan kawasan (Regional representation)
Dalam mencari keseimbangan terhadap realitas geopolitik dan keterwakilan kawasan dalam perluasan keanggotaan DK, Indonesia menilai harus adanya keseimbangan representasi geografis (terutama dari kawasan Asia dan Afrika) dan peningkatan keterwakilan negara berkembang.
4. Jumlah anggota DK setelah perluasan serta metoda kerjanya (Size of the enlarged
Security Council and its working methods)
Indonesia dapat mendukung perluasan hingga 26 anggota DK dengan catatan Asia dan Afrika masing-masing mendapatkan tambahan empat kursi. Dalam posisi ini, Indonesia belum menyebutkan dari empat kursi tambahan untuk masing-masing kawasan dimaksud, berapa yang untuk anggota tetap dan berapa untuk anggota tidak tetap.
Berkaitan dengan metode kerja DK, Indonesia telah memberikan berbagai usulan diantaranya; Indonesia menilai penting negara yang terkena sanksi DK memiliki kesempatan agar pendapatnya didengar dan berpartisipasi dalam pembahasan sanksi yang ditetapkan. Selain itu, Indonesia menilai penting keterlibatan yang lebih besar bagi negara pengirim pasukan (TCC-Troop Contributing Countries) dalam pembuatan draft resolusi DK dalam penggelaran PKO.
5. Hubungan antara DK dengan Majelis Umum PBB (The relationship between the Security Council and the General Assembly)
Indonesia menilai penting penguatan mekanisme hubungan kerja yang substansial antara kedua organ utama PBB tersebut. Terkait dengan itu, diperlukan penegasan kembali terhadap pelaksanaan mandat masing-masing organ PBB untuk menghindari intervensi dan encroachment antar organ utama PBB. Dengan demikian DK hendaknya tidak melanggar ruang lingkup MU selaku the chief deliberative, policymaking and representative organ PBB.
Sumber : www.kemlu.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar